https://dunialuar.id/ Di sebuah desa yang sejuk di kaki Gunung Anjasmoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, setiap tahun warga berkumpul di bawah pohon durian tua yang menjulang di tengah kebun. Di sanalah mereka menggelar tikar, membuka tumpukan durian hasil panen, lalu menyantapnya bersama-sama. Bukan festival yang megah, tanpa panggung besar atau undangan artis ibu kota. Tapi justru di situlah kekuatannya: Festival Durian Desa Jombang adalah tentang kebersamaan, kesyukuran, dan warisan lokal yang hidup.
Tradisi makan durian bersama ini telah berlangsung selama puluhan tahun. Ia bukan hanya soal buah lezat dengan aroma khas, tetapi tentang cara warga menghormati pohon tua, menjaga hubungan sosial, dan menyambut musim panen dengan ritus kebersamaan.
Awal Mula Festival: Dari Syukuran Sederhana Menjadi Agenda Tahunan
Tak ada catatan pasti kapan festival ini dimulai. Yang jelas, menurut cerita para tetua desa, tradisi ini berakar dari kebiasaan syukuran setelah panen durian, yang biasanya dilakukan oleh keluarga pemilik pohon tua. Mereka akan memanggil tetangga dan sanak saudara untuk ikut mencicipi hasil panen—tanpa jual beli, tanpa harga.
Dari situlah tradisi ini berkembang. Lama kelamaan, masyarakat desa ikut bergabung, membawa durian dari kebun masing-masing. Mereka berkumpul di bawah pohon yang dianggap sebagai “induk durian” karena usianya yang sudah lebih dari 80 tahun.
Kini, tradisi itu dikenal sebagai Festival Durian Pohon Tua, dan menjadi agenda tahunan desa yang dinanti oleh warga dan pendatang.
Durian: Lebih dari Sekadar Buah
Di desa ini, durian tidak diperlakukan sebagai komoditas biasa. Ia dianggap sebagai hadiah dari alam, yang datang hanya sekali dalam setahun. Setiap pohon punya nama dan sejarahnya sendiri. Ada yang ditanam oleh leluhur mereka, ada yang tumbuh liar lalu dirawat bersama.
Buahnya tidak selalu dijual. Sebagian besar justru dibagi dalam acara makan bersama. “Kalau durian dari pohon tua, rasanya beda,” ujar Pak Darto, salah satu petani. “Manis, legit, tapi juga ada rasa tanahnya—rasa desa.”
Durian juga menjadi pengikat hubungan antarwarga. Tidak jarang, acara ini menjadi ajang mempertemukan sanak keluarga yang lama tak bersua. Di sinilah durian menjadi simbol hubungan antar-manusia dan antara manusia dengan alam.
Ritual dan Rangkaian Festival
Festival durian desa biasanya dimulai dengan doa bersama di pagi hari, dipimpin oleh tokoh adat atau sesepuh desa. Mereka mengucap syukur atas panen yang datang dan mendoakan agar pohon-pohon tetap sehat untuk musim-musim berikutnya.
Setelah itu, warga mulai datang membawa durian dari kebun masing-masing. Durian diletakkan secara berjajar di bawah pohon utama, yang biasanya sudah diberi penanda dengan kain atau sesajen bunga. Lalu, acara makan bersama dimulai.
Beberapa elemen unik dari festival ini:
-
Tanpa meja makan: Semua makan duduk lesehan di tanah, membentuk lingkaran atau barisan panjang.
-
Tidak ada piring: Durian dibelah langsung dan dimakan bersama. Kadang satu durian dimakan 2–3 orang.
-
Berbagi dengan siapa saja: Tidak peduli kamu penduduk desa atau tamu, semua berhak mencicipi.
-
Lomba rasa: Warga saling membanggakan durian mereka—ada yang wangi, ada yang pahit legit, ada yang bertekstur lembut seperti mentega.
Menghadirkan Wisatawan Tanpa Menghilangkan Akar
Beberapa tahun terakhir, kabar tentang Festival Durian Jombang mulai menyebar ke luar. Wisatawan lokal berdatangan untuk ikut merasakan sensasi makan durian di bawah pohon tua. Pemerintah desa menyambutnya dengan positif, tapi tetap menjaga agar festival ini tidak berubah menjadi tontonan komersial.
“Kami ingin menjaga ruhnya. Ini bukan pameran kuliner, tapi syukuran desa,” kata Bu Yanti, salah satu penggerak kegiatan. Karena itu, tidak ada tiket masuk, tidak ada panggung hiburan, dan tidak ada penjual musiman yang buka lapak di sekitar lokasi.
Sebaliknya, tamu yang datang diundang untuk ikut dalam semangat kebersamaan: membawa tikar, duduk lesehan, berbagi durian, dan menyumbang sukarela ke kas desa jika berkenan.
Pohon Tua: Simbol Kehidupan yang Dijaga Bersama
Pohon durian tua yang menjadi pusat festival tidak hanya penting secara simbolik, tetapi juga ekologis. Ia menjadi habitat bagi berbagai jenis burung, kelelawar, dan serangga. Akar-akarnya menahan tanah agar tidak longsor, daunnya memberi naungan bagi tanaman lain, dan batangnya menjadi penopang tradisi desa.
Setiap tahun, pohon ini dirawat bersama. Warga bergotong royong membersihkan area sekitar, memberikan pupuk organik, dan memastikan tidak ada yang menebang atau merusaknya. Anak-anak diajarkan sejak dini bahwa pohon ini bukan milik pribadi, tetapi milik bersama.
Pohon ini adalah pengingat bahwa alam harus dijaga agar bisa terus memberi.
Dampak Sosial dan Ekonomi Festival
Meski tak bersifat komersial, Festival Durian ini memberi dampak ekonomi tak langsung. Warga mulai mengolah durian menjadi:
-
Dodol durian
-
Pancake durian
-
Keripik biji durian
Produk-produk ini dijual setelah festival berakhir, dengan label khas desa. Selain itu, banyak tamu yang memesan bibit durian lokal untuk ditanam sendiri—memperluas warisan durian Jombang ke tempat lain.
Di sisi lain, festival ini memperkuat solidaritas antarwarga. Mereka berkumpul, berbaur, dan bekerja sama tanpa memandang status sosial. Dalam suasana seperti itu, makan bersama menjadi lebih dari sekadar mengisi perut—ia menjadi sarana membangun ikatan sosial.
Penutup: Menjaga Tradisi di Bawah Naungan Pohon Tua
Di tengah arus modernisasi dan industrialisasi pertanian, Festival Durian di Desa Jombang menjadi napas segar. Ia menunjukkan bahwa tradisi lokal, jika dijaga dengan hati, bisa tetap hidup dan bahkan memberi manfaat luas.
Makan durian bersama di bawah pohon tua bukan hanya soal rasa legit atau aroma khas. Itu adalah cara masyarakat desa merayakan hidup, menyatu dengan alam, dan menjaga warisan leluhur yang sederhana tapi mendalam.
Jadi, jika musim durian tiba dan kamu ingin merasakan kehangatan yang lebih dari sekadar gigitan buah, datanglah ke Desa Jombang. Bawa tikar, buka hati, dan nikmatilah sepotong kehidupan yang mungkin tak akan kamu temukan di tempat lain.
Baca juga https://angginews.com/
