https://dunialuar.id/ Taman nasional di Indonesia sering disebut sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati. Namun, di balik status “lindung” dan “dilestarikan”, muncul pertanyaan yang menggigit: siapa yang benar-benar diuntungkan dari keberadaan taman nasional? Apakah hutan dan satwa? Pemerintah? Atau masyarakat yang tinggal di sekitarnya?
Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri sejarah panjang konservasi di Indonesia, dari masa kolonial hingga kebijakan modern.
Awal Mula Konservasi: Warisan Kolonial
Pembentukan kawasan konservasi di Indonesia dimulai sejak era kolonial Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sejumlah kebijakan kehutanan untuk melindungi kawasan tertentu—namun motif utamanya bukan perlindungan ekosistem, melainkan pengendalian atas sumber daya alam.
Tahun 1919, kawasan Cibodas (sekarang bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) ditetapkan sebagai kawasan perlindungan, salah satu yang pertama. Tapi fokusnya lebih pada perlindungan untuk keperluan ilmiah dan perburuan terbatas oleh kalangan elit Eropa.
Hingga tahun 1945, lebih dari 15 kawasan suaka alam dan hutan lindung ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Ironisnya, banyak masyarakat lokal yang sudah hidup di dalam atau sekitar hutan tersebut selama ratusan tahun justru tidak dianggap sebagai bagian dari sistem konservasi. Mereka mulai dipinggirkan.
Pasca Kemerdekaan: Lingkungan dalam Bayang Kekuasaan
Setelah Indonesia merdeka, sistem kehutanan dan konservasi masih sangat dipengaruhi oleh warisan kolonial. Pada tahun 1980-an, pemerintah mulai mengadopsi konsep taman nasional modern, mengikuti standar internasional yang diperkenalkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature).
Tahun 1980, lima taman nasional pertama diresmikan:
-
Taman Nasional Gunung Leuser
-
Taman Nasional Ujung Kulon
-
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
-
Taman Nasional Baluran
-
Taman Nasional Komodo
Tujuannya mulia: melindungi ekosistem yang terancam, mencegah kepunahan satwa liar, dan mendukung penelitian serta ekowisata.
Namun, dalam pelaksanaannya, pendekatan pemerintah masih sentralistik. Penetapan taman nasional seringkali tidak melibatkan masyarakat lokal atau adat yang telah menggantungkan hidup dari kawasan itu selama berabad-abad.
Konflik Kepentingan: Konservasi vs Kehidupan Lokal
Hingga kini, Indonesia memiliki lebih dari 50 taman nasional, yang mencakup lebih dari 12% luas daratan negara. Tapi di balik angka itu, muncul konflik berkepanjangan:
-
Masyarakat kehilangan akses ke lahan garapan
-
Pembatasan terhadap sumber daya hutan seperti kayu, madu, dan rotan
-
Kriminalisasi warga yang mengambil hasil hutan di kawasan taman nasional
-
Ketimpangan antara pihak pengelola (pemerintah) dengan masyarakat adat/petani lokal
Contoh nyata terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat (Sumatra), Taman Nasional Lore Lindu (Sulawesi Tengah), dan Taman Nasional Sebangau (Kalimantan Tengah). Di banyak kasus, konservasi diterjemahkan sebagai “pengusiran” diam-diam.
Siapa yang Diuntungkan?
Jika kita melihat pemangku kepentingan dalam taman nasional, setidaknya ada empat kelompok:
1. Pemerintah dan Lembaga Konservasi
Mereka mengelola taman nasional melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Taman nasional dianggap simbol keberhasilan konservasi nasional dan menjadi alat diplomasi lingkungan di tingkat internasional.
2. Lembaga Donor dan LSM Internasional
Banyak program konservasi didukung oleh dana asing. Lembaga donor mendapat keuntungan dari citra keberhasilan program konservasi, termasuk laporan, foto-foto satwa liar, dan proyek kolaborasi riset.
3. Pelaku Wisata Alam
Taman nasional sering dibuka untuk ekowisata atau wisata petualangan. Dalam beberapa kasus, investor pariwisata diuntungkan karena memiliki izin khusus untuk membangun fasilitas wisata.
4. Masyarakat Lokal
Ironisnya, inilah kelompok yang sering tidak mendapat manfaat secara adil, bahkan justru menjadi korban pembatasan. Padahal mereka adalah penjaga hutan sejak lama—bukan dengan batas administratif, tapi lewat kearifan lokal.
Menggugat Konsep “Hutan Tanpa Manusia”
Salah satu akar persoalan konservasi di Indonesia adalah adopsi mentah konsep taman nasional dari Barat, yang cenderung memisahkan manusia dari alam.
Konsep “fortress conservation” (konservasi benteng) membuat taman nasional dipagari secara hukum dan administratif, lalu menganggap aktivitas manusia sebagai ancaman.
Padahal, masyarakat adat di Indonesia telah lama hidup berdampingan dengan hutan tanpa menghancurkannya. Mereka punya sistem larangan menebang pohon tertentu, pembukaan lahan terbatas (rotasi ladang), dan ritual pemeliharaan ekosistem.
“Kami tidak ingin menebang hutan. Kami hanya ingin tetap hidup dari tanah yang sudah diwariskan leluhur,” ujar seorang tokoh adat di kawasan Taman Nasional Manusela, Maluku.
Perubahan Pendekatan: Konservasi Kolaboratif
Sejak 2000-an, mulai ada perubahan arah kebijakan. Pemerintah dan LSM menyadari bahwa konservasi tidak bisa dilakukan tanpa dukungan masyarakat.
Beberapa pendekatan baru mulai diterapkan:
-
Konservasi berbasis masyarakat (Community-Based Conservation)
-
Perhutanan sosial di sekitar taman nasional
-
Skema kemitraan konservasi
-
Wisata alam berbasis komunitas
Contohnya, di Taman Nasional Wakatobi, komunitas lokal dilibatkan dalam menjaga terumbu karang dan mengelola wisata selam. Di Taman Nasional Meru Betiri, petani lokal diajak mengelola agroforestri di zona penyangga.
Namun, keberhasilan pendekatan ini masih terbatas dan belum merata. Banyak kawasan taman nasional tetap tertutup dan berkonflik dengan masyarakat lokal.
Tantangan ke Depan
Meskipun ada upaya pembaruan, tantangan besar tetap ada:
-
Ketimpangan kekuasaan
-
Otoritas penuh masih berada di tangan negara. Suara masyarakat lokal masih minoritas dalam pengambilan keputusan.
-
-
Kriminalisasi masyarakat
-
Warga yang menebang pohon atau mengambil madu tetap bisa dijerat hukum kehutanan.
-
-
Pengaruh ekonomi-politik
-
Beberapa taman nasional terancam oleh investasi besar seperti tambang, pembangkit listrik, atau jalan strategis nasional.
-
Kesimpulan: Harus Ada Keadilan dalam Konservasi
Taman nasional memang penting untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati. Tapi konservasi yang meminggirkan manusia justru berisiko menciptakan konflik sosial dan melahirkan perlawanan.
Masyarakat lokal bukan ancaman bagi hutan—justru mereka bisa menjadi penjaga paling andal jika dilibatkan secara adil.
Sudah waktunya kita menata ulang cara kita memandang taman nasional: bukan sebagai zona steril dari kehidupan manusia, tapi sebagai ruang hidup yang dikelola bersama antara alam, negara, dan warga.
Baca juga https://angginews.com/


















