Pada setiap musim panen di hamparan sawah Indramayu, bayangan keberhasilan menyelimuti wajah para petani. Namun di balik panen padi yang melimpah, menyusul praktik umum yang nyaris tak terhindarkan: pembakaran jerami. Ladang-ladang yang sebelumnya hijau dan subur mendadak berubah menjadi lautan asap dan bara. Aroma hangus menguar ke langit, dan kabut putih tipis menyelimuti desa-desa pertanian selama berhari-hari.
Bagi sebagian warga desa, asap jerami mungkin telah menjadi pemandangan dan bau yang biasa. Namun, di balik kebiasaan ini tersembunyi risiko kesehatan yang tidak kecil.
Mengapa Petani Membakar Jerami?
Jerami, atau sisa batang padi yang tersisa setelah panen, sering dianggap sebagai limbah. Di banyak desa, termasuk di Kabupaten Indramayu, jerami tidak dimanfaatkan lebih lanjut. Alasannya beragam:
-
Tidak ada alat atau tenaga untuk mengolah jerami menjadi kompos
-
Jerami yang dibiarkan menumpuk di sawah dianggap mengganggu proses tanam berikutnya
-
Pembakaran dianggap cara tercepat, termurah, dan “ampuh” untuk membersihkan lahan
Namun pendekatan praktis ini memiliki dampak jangka panjang—bukan hanya bagi tanah, tapi juga bagi tubuh manusia.
Apa yang Terjadi Saat Jerami Dibakar?
Saat jerami dibakar di udara terbuka, terjadi pembakaran tidak sempurna. Asap yang dihasilkan mengandung berbagai zat berbahaya, seperti:
-
Partikulat PM2.5 dan PM10: butiran halus yang bisa menembus hingga ke paru-paru
-
Karbon monoksida (CO): gas beracun yang dapat mengganggu suplai oksigen
-
Nitrogen oksida (NOx) dan senyawa organik volatil (VOC): pencetus iritasi saluran pernapasan
-
Dioxin: senyawa kimia beracun yang bersifat karsinogenik
Asap tersebut bukan hanya tinggal di sawah. Ia melayang ke pemukiman, masuk ke rumah-rumah, sekolah, dan tempat ibadah. Anak-anak, lansia, dan petani sendiri menjadi kelompok paling rentan.
Dampak Kesehatan di Lapangan: Cerita Warga Desa
Di Desa Karangampel, Indramayu, banyak warga mengeluhkan gejala yang muncul setiap musim panen. Seorang ibu rumah tangga, Bu Siti (45), mengatakan:
“Anak saya sering batuk-batuk tiap selesai panen. Hidungnya gatal terus, mata perih. Apalagi kalau malam, asap masuk dari jendela.”
Di posyandu desa, bidan mencatat peningkatan keluhan gangguan pernapasan ringan hingga sedang setiap musim panen:
-
Batuk kronis
-
Sesak napas
-
Iritasi mata
-
Asma kambuh
Bahkan beberapa petani sendiri mengaku kerap pusing dan mual setelah lama berada di sawah saat pembakaran berlangsung.
Kelompok yang Paling Rentan
Asap pembakaran jerami bukan hanya gangguan ringan. Bagi kelompok tertentu, dampaknya bisa berbahaya secara serius:
-
Anak-anak: sistem pernapasan mereka masih berkembang, membuat mereka lebih sensitif
-
Lansia: daya tahan tubuh menurun, berisiko terkena infeksi atau komplikasi
-
Orang dengan penyakit jantung atau paru kronis: seperti asma, PPOK, atau jantung koroner
-
Ibu hamil: paparan polusi udara dapat berdampak pada janin
Dalam jangka panjang, paparan berulang dapat meningkatkan risiko penyakit paru kronis, gangguan kardiovaskular, hingga kanker paru.
Dampak Lingkungan: Bukan Hanya Kesehatan
Selain merugikan kesehatan, pembakaran jerami juga membawa konsekuensi ekologis:
-
Menurunkan kesuburan tanah
Abu pembakaran tidak mengandung nitrogen dan unsur hara lain yang penting. Tanah makin miskin nutrisi. -
Mengganggu biodiversitas mikroorganisme tanah
Api membunuh mikroba baik yang menjaga struktur tanah. -
Memicu perubahan iklim lokal
Gas rumah kaca seperti CO₂ dan metana turut dilepaskan. -
Meningkatkan risiko kebakaran liar
Api dari pembakaran jerami mudah menjalar ke semak, kebun, atau rumah warga.
Mengapa Praktik Ini Masih Berlangsung?
Ada beberapa alasan mengapa praktik pembakaran jerami tetap bertahan di desa-desa pertanian:
-
Kurangnya akses ke alat pertanian modern, seperti mesin pencacah jerami
-
Ketiadaan edukasi tentang risiko kesehatan dan alternatif lain
-
Tidak adanya kebijakan tegas atau sanksi hukum di tingkat desa
-
Kebiasaan turun-temurun yang dianggap wajar
Petani tentu tidak berniat mencelakai sesama atau lingkungannya. Namun, ketidaktahuan dan keterbatasan akses membuat mereka memilih cara paling cepat dan mudah.
Solusi: Dari Edukasi hingga Inovasi
Mengatasi masalah ini tidak cukup hanya dengan larangan. Solusi harus menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan pengetahuan.
Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Edukasi Petani
Melalui penyuluh pertanian, petani dapat diberi informasi tentang:
-
Risiko kesehatan akibat asap jerami
-
Alternatif pengolahan jerami, seperti kompos atau pakan ternak
2. Pengolahan Jerami Menjadi Produk Bernilai
Beberapa desa di Indonesia sudah mengembangkan:
-
Briket jerami sebagai bahan bakar alternatif
-
Pakan fermentasi untuk ternak
-
Kompos organik untuk pupuk lahan sendiri
3. Bantuan Alat Pertanian
Pemerintah daerah dapat mendistribusikan alat pencacah jerami atau mesin pengolah skala kecil ke kelompok tani.
4. Kebijakan Lokal yang Progresif
Desa bisa membuat Perdes (Peraturan Desa) tentang larangan pembakaran terbuka, dengan pendekatan persuasif dan bertahap.
5. Kampanye Kesehatan Lingkungan
Melibatkan kader posyandu, karang taruna, dan tokoh agama untuk menyampaikan pesan tentang bahaya asap terhadap anak-anak dan lansia.
Harapan dari Generasi Muda Desa
Kini, mulai muncul inisiatif dari pemuda desa di beberapa kecamatan di Indramayu. Mereka mendirikan bank jerami, di mana petani bisa menyetor jerami alih-alih membakarnya. Jerami itu kemudian diolah jadi kompos dan dijual kembali.
Di beberapa SMK pertanian, siswa juga mulai belajar membuat pupuk cair dari fermentasi jerami. Upaya kecil ini menunjukkan bahwa kesadaran bisa tumbuh dari akar rumput jika diberi ruang dan dukungan.
Penutup: Napas Bersih Adalah Hak Semua Orang
Asap jerami mungkin terlihat sepele—ia datang dan pergi, larut bersama angin. Tapi dampaknya tak kasatmata: menyusup ke paru-paru, melemahkan tubuh, dan mencemari tanah. Tradisi yang tak disertai kesadaran bisa menjadi bumerang bagi generasi yang akan datang.
Sudah saatnya pembakaran jerami tidak dianggap sebagai “kebiasaan biasa”. Karena kesehatan adalah hak semua, dan udara bersih adalah bagian dari hidup yang layak.
Dengan gotong royong, edukasi, dan sedikit keberanian untuk berubah, desa-desa di Indramayu bisa menjadi contoh daerah pertanian yang sehat, produktif, dan ramah lingkungan.
Baca juga https://angginews.com/
















