Sumba Barat, sebuah wilayah di Nusa Tenggara Timur yang dikenal akan hamparan padang savana dan adat istiadat yang kuat, memiliki satu perayaan budaya yang sangat khas: Pasola. Lebih dari sekadar pertunjukan atau atraksi pariwisata, Pasola adalah perwujudan nilai-nilai spiritual, sejarah panjang masyarakat adat, serta penghormatan kepada alam yang telah memberi kehidupan.
Pasola bukan pertunjukan tanpa makna. Ia adalah bagian dari ritus adat Marapu, sistem kepercayaan tradisional masyarakat Sumba, yang hingga hari ini masih hidup dan dihormati. Di balik hiruk-pikuk tombak yang dilempar dari atas punggung kuda, tersembunyi makna mendalam tentang hubungan manusia dengan leluhur, tanah, dan siklus alam.
Apa Itu Pasola?
Pasola adalah pertandingan tradisional berkuda yang dilakukan oleh dua kelompok pemuda dari desa yang berbeda. Masing-masing penunggang, berpakaian adat, menunggang kuda Sumba yang gesit, sambil melemparkan tombak kayu (yang ujungnya kini telah ditumpulkan) ke arah lawan mereka. Meskipun ada risiko cedera, kegiatan ini bukanlah kekerasan tanpa arah—melainkan bentuk simbolik dari pengorbanan dan pembaharuan.
Kata “Pasola” sendiri berasal dari kata “sola” atau “hola”, yang berarti tombak kayu. Tambahan awalan “pa-” menunjukkan bahwa ini adalah suatu perbuatan bersama, kolektif.
Makna Adat dan Spiritual di Balik Pasola
Pasola bukan hanya pertandingan. Ia adalah bagian dari rangkaian upacara adat yang terkait erat dengan musim panen dan siklus alam. Dalam kepercayaan Marapu, keberhasilan panen dan keseimbangan alam bergantung pada keharmonisan antara manusia dan roh leluhur. Pasola menjadi media untuk menjalin kembali keseimbangan tersebut.
Sebelum Pasola digelar, ada ritual adat yang lebih dahulu dilakukan. Salah satunya adalah ritual penampakan nyale—cacing laut yang muncul secara musiman di pantai. Kemunculan nyale dianggap sebagai pertanda dari leluhur bahwa alam siap untuk menerima Pasola. Tanpa kemunculan nyale, Pasola tidak boleh dilakukan.
Melalui Pasola, darah yang tertumpah dari para peserta dianggap sebagai persembahan kepada leluhur dan tanah. Darah itu bukan simbol kekerasan, melainkan pengorbanan untuk kesuburan, pembersihan dosa, dan permohonan berkah untuk tahun mendatang.
Pasola dan Kuda Sumba: Hubungan yang Sakral
Tidak mungkin membicarakan Pasola tanpa membicarakan kuda Sumba. Kuda kecil nan tangguh ini dikenal karena ketahanannya di medan savana yang luas dan kering. Mereka bukan hanya alat transportasi, tapi bagian dari kehidupan sehari-hari dan ritual.
Dalam perayaan Pasola, kuda-kuda ini tidak hanya membawa penunggangnya, tetapi juga membawa nama baik komunitas mereka. Perawatan kuda sebelum Pasola menjadi proses tersendiri yang melibatkan pemilik, keluarga, dan bahkan masyarakat luas. Seekor kuda yang menang di arena Pasola bisa menjadi kebanggaan seluruh kampung.
Padang Savana: Panggung Alam untuk Pasola
Yang membuat Pasola begitu megah adalah latar tempatnya: padang savana terbuka yang luas, dengan latar langit biru dan perbukitan khas Sumba. Alam menjadi arena alami yang tidak dibuat-buat. Tidak ada tribun modern, tidak ada lampu sorot. Hanya tanah, rumput, angin, dan debu yang naik saat kuda berpacu.
Savana bukan hanya latar fisik, tapi bagian dari ritus. Ruang terbuka ini memungkinkan semua orang—baik warga lokal maupun pengunjung luar—untuk menyaksikan dan terlibat dalam energi kolektif yang tercipta saat Pasola berlangsung.
Namun keindahan ini juga rapuh. Alih fungsi lahan, perambahan padang, dan penggundulan bukit mulai mengganggu ekosistem savana. Jika tidak dijaga, bukan hanya alam yang rusak, tapi juga tempat sakral yang menjadi bagian dari perayaan budaya ini akan hilang.
Risiko, Kontroversi, dan Adaptasi
Dulu, tombak yang digunakan dalam Pasola dibuat runcing dan bisa mengakibatkan cedera serius, bahkan kematian. Namun kini, dengan berbagai pendekatan baru dan masukan dari berbagai pihak, tombak telah dimodifikasi menjadi tumpul. Hal ini untuk mengurangi risiko tanpa menghilangkan makna.
Tetapi, di satu sisi, sebagian masyarakat adat tetap memandang bahwa darah dalam Pasola adalah unsur penting dari keberhasilan ritus. Ketegangan antara pelestarian adat dan perlindungan peserta menjadi tantangan tersendiri.
Pemerintah lokal, tokoh adat, dan generasi muda kini berusaha mencari jalan tengah: bagaimana Pasola bisa tetap dilaksanakan secara otentik, namun juga aman dan inklusif. Edukasi, dialog terbuka, dan pelibatan pemuda dalam pengambilan keputusan menjadi kunci.
Pariwisata dan Tantangan Komersialisasi
Dalam beberapa tahun terakhir, Pasola menarik banyak wisatawan. Momen ini dianggap eksotik dan fotogenik—menjadi daya tarik utama budaya Sumba. Tapi komersialisasi yang tak terkendali bisa merusak esensi.
Pasola bukan pertunjukan untuk dijual, tapi warisan spiritual yang harus dihormati. Jika digelar hanya demi wisata, tanpa mengikuti kalender adat dan ritual yang benar, maka maknanya bisa hilang. Beberapa komunitas bahkan mulai membatasi siapa saja yang boleh mendekat ke lingkaran utama, untuk menjaga kesakralan acara.
Solusinya bukan menolak wisatawan, melainkan mendidik mereka. Memberikan konteks, membatasi intervensi luar, dan mendukung warga lokal agar mereka tetap menjadi pemegang kendali atas tradisinya sendiri.
Pasola Hari Ini dan Esok
Kini, Pasola tidak lagi hanya diadakan di satu tempat. Beberapa wilayah seperti Lamboya, Wanokaka, dan Gaura memiliki versi dan waktunya masing-masing, tergantung pada musim nyale dan keputusan tetua adat. Ini menandakan bahwa budaya ini hidup dan tidak statis.
Yang menarik, generasi muda Sumba kini banyak yang aktif melestarikan Pasola. Mereka tidak hanya ikut berkuda, tapi juga mendokumentasikan, menulis, bahkan membuat film pendek untuk menyebarkan pemahaman tentang nilai-nilai di balik tradisi ini.
Pasola pun mulai dikenali bukan hanya karena “serunya melempar tombak”, tapi juga karena keindahan relasi antara manusia, alam, dan kepercayaan tradisional.
Penutup: Pasola adalah Cermin Hubungan Harmonis
Pasola adalah cermin dari bagaimana masyarakat adat Sumba memaknai kehidupan: keras tapi penuh hormat, berani tapi terikat adat, bebas tapi teratur dalam tatanan spiritual. Tradisi ini tidak bisa dilepaskan dari alam, dari padang savana, dari nyale di pantai, dari kuda-kuda tangguh, dan dari leluhur yang terus dijunjung tinggi.
Bila alam rusak, Pasola kehilangan panggungnya. Bila adat ditinggalkan, Pasola kehilangan rohnya. Dan bila hanya dilihat sebagai tontonan, Pasola kehilangan maknanya.
Pasola bukan sekadar warisan masa lalu, tapi juga pesan untuk masa depan: bahwa keseimbangan antara manusia dan alam hanya bisa dijaga lewat penghormatan, pengorbanan, dan kebersamaan.
Baca juga https://angginews.com/


















