https://dunialuar.id/ Di sebuah warung kecil beratap seng di lereng Gunung Slamet, uap pelan naik dari sebuah poci tanah liat. Tidak ada dentingan sendok logam atau mesin espresso berisik. Yang ada hanya bunyi air panas dituangkan perlahan dan aroma teh melati yang menyebar seperti memanggil ingatan masa lalu.
Warung itu tak memiliki papan nama mencolok. Namun setiap pagi, para petani, pedagang, dan bahkan anak sekolah datang silih berganti. Bukan untuk ngopi kekinian, tapi untuk menyesap teh poci—minuman warisan leluhur Tegal yang tetap setia mengalirkan kehangatan dari generasi ke generasi.
Apa Itu Teh Poci?
Teh poci adalah cara minum teh khas masyarakat pesisir dan pegunungan di sekitar Tegal, Brebes, dan sekitarnya. Teh ini:
-
Diseduh di dalam poci tanah liat
-
Menggunakan teh wangi (seringkali teh melati atau teh tubruk khas Slawi)
-
Dicampur dengan gula batu, bukan gula pasir
-
Disajikan dengan cangkir tanah liat kecil tanpa pegangan
Poci dan cangkir tanah liat bukan sekadar wadah—mereka memberi cita rasa khas, menjaga suhu tetap hangat lebih lama, dan menambah unsur “alam” dalam tiap tegukan.
“Wangi, Panas, Legi”: Tiga Pilar Teh Poci
Orang Tegal punya tiga kata kunci dalam menyajikan teh poci: “wangi, panas, legi”.
-
Wangi – Dari teh melati atau seduhan teh tubruk Slawi yang dikenal punya aroma kuat.
-
Panas – Karena diseduh langsung dengan air mendidih dan disimpan di dalam poci tanah liat.
-
Legi (manis) – Berasal dari larutan gula batu yang larut perlahan, menciptakan manis halus yang tidak menyengat.
Tidak seperti teh celup instan atau teh kemasan, teh poci butuh waktu. Ia tidak bisa buru-buru. Menikmatinya berarti menghargai proses, ketenangan, dan percakapan.
Lereng Slamet: Tempat Teh Bukan Sekadar Minuman
Di kaki Gunung Slamet—terutama wilayah Bumijawa dan sekitarnya—teh poci sudah menjadi bagian dari budaya harian. Bukan hanya di pagi hari, tapi juga saat siang menjelang ladang, atau malam selepas berkumpul dengan tetangga.
“Kalau belum teh poci, rasanya belum bangun,” ujar Pak Warno, petani sayur lokal.
Warung-warung teh sederhana di lereng gunung menjadi titik temu sosial. Di sana, berita desa disampaikan, nasihat hidup dibagikan, bahkan keputusan kecil diambil sambil memegang cangkir hangat beraroma melati.
Di pagi hari yang dingin, teh poci seperti selimut kecil di tenggorokan. Ia menghangatkan dari dalam. Bukan cuma tubuh, tapi juga hati dan kepala.
Proses Tradisional yang Tak Pernah Tergantikan
Membuat teh poci bukan perkara menuang air ke dalam gelas. Ada urutan yang harus dihormati:
-
Merebus air di atas tungku atau ketel besi – Api kayu dianggap lebih baik daripada kompor gas, karena memberi panas yang stabil.
-
Memasukkan daun teh kering langsung ke poci – Bukan teh celup.
-
Menambahkan beberapa keping gula batu – Tidak perlu diaduk, karena manis akan larut perlahan.
-
Menyeduh dan mendiamkan beberapa menit – Agar semua rasa menyatu.
-
Disajikan ke dalam cangkir tanah liat – Diseruput perlahan tanpa sendok.
Semuanya dilakukan dengan tenang. Karena teh poci tidak cocok untuk orang yang tergesa-gesa. Justru ia adalah perlawanan halus terhadap dunia yang serba cepat.
Teh sebagai Ruang Sosial dan Refleksi
Lebih dari sekadar minuman, teh poci menciptakan ruang. Di warung-warung teh poci lereng Slamet, orang tidak datang untuk sekadar membeli dan pergi. Mereka duduk, berbincang, dan mendengar.
Obrolan bisa tentang hasil panen, anak-anak yang merantau, atau soal hidup yang tak selalu mudah. Dalam budaya Jawa, teh adalah simbol keterbukaan dan kehangatan. Dan teh poci adalah bentuk paling murni dari itu.
Teh Lokal, Ladang Lokal
Kebanyakan teh yang digunakan dalam poci berasal dari daerah Slawi dan sekitarnya, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Tegal. Teh dari sini terkenal karena:
-
Daunnya yang kecil namun wangi
-
Diproses secara semi-fermentasi
-
Ditanam di dataran tinggi dengan suhu dingin
Beberapa petani di lereng Gunung Slamet juga mulai menanam teh sendiri secara mandiri, menggunakan metode organik dan pengolahan tradisional. Mereka percaya, teh poci hanya akan enak jika berasal dari daun teh yang ditanam dengan hati.
Gula Batu: Manis yang Tidak Menyerbu
Penggunaan gula batu dalam teh poci bukan semata gaya lama. Gula batu memiliki cara larut yang perlahan, tidak membuat teh jadi terlalu manis secara tiba-tiba, dan memberikan kesan “manis alami” yang menyatu dengan rasa teh.
Gula batu juga dipercaya lebih sehat karena tidak melalui proses pemutihan berlebih seperti gula pasir industri. Bagi orang tua di desa, gula batu adalah penyeimbang: menjaga energi tanpa membuat tubuh “panas dalam”.
Ancaman & Harapan: Tradisi yang Perlu Dihidupkan
Namun, seperti banyak warisan tradisional lainnya, teh poci mulai kalah pamor di kalangan anak muda. Minuman kopi kekinian, teh kemasan, dan kebiasaan minum sambil bermain ponsel mulai menggantikan waktu-waktu duduk tenang bersama poci tanah liat.
Beberapa komunitas di Tegal kini berusaha menghidupkan kembali tradisi teh poci lewat:
-
Festival Teh Poci
-
Workshop menyeduh teh tradisional
-
Penjualan poci tanah liat handmade
-
Paket wisata teh poci di desa-desa kaki Gunung Slamet
Penutup: Menyesap Waktu, Bukan Sekadar Teh
Teh poci bukan soal rasa saja. Ia adalah pengalaman hidup yang lambat, sadar, dan menghormati proses. Dalam tiap tegukan, kita diajak berhenti sejenak dari kesibukan, mengingat masa kecil, kakek-nenek, percakapan sore hari yang tenang di teras bambu.
Di lereng Gunung Slamet, teh poci adalah jembatan antara alam, manusia, dan waktu. Tradisi ini tidak perlu dibesar-besarkan, tidak perlu dibungkus dengan kemewahan. Cukup diseduh, diseruput, dan dibagi bersama.
Jika suatu hari kamu melewati lereng Slamet, berhentilah di warung teh sederhana. Minta satu poci kecil, duduklah, dan rasakan bagaimana hidup yang sederhana bisa terasa begitu kaya—dari satu cangkir yang berasal dari tanah.
Baca juga https://angginews.com/


















