banner 728x250

Ketika Laut Menelan Daratan: Desa-Desa yang Hilang oleh Naiknya Air Laut

laut menelan daratan
laut menelan daratan
banner 120x600
banner 468x60

https://dunialuar.id/ Bayangkan suatu pagi, ketika matahari terbit di cakrawala, seorang nelayan bangun untuk mendapati bahwa sebagian besar desanya telah lenyap ditelan laut. Bukan karena tsunami atau badai besar, tetapi oleh proses perlahan yang berlangsung selama puluhan tahun — kenaikan permukaan laut.

Fenomena ini bukan lagi sekadar prediksi masa depan. Di berbagai penjuru dunia, terutama negara kepulauan dan daerah pesisir rendah, laut secara nyata telah menelan daratan. Desa-desa yang dulunya ramai kini menjadi kenangan, terkubur di bawah air asin. Dan ironisnya, tragedi ini bukan semata-mata bencana alam — tetapi hasil dari ulah manusia sendiri.

banner 325x300

Air Laut yang Terus Naik: Realita yang Tidak Bisa Dihindari

Kenaikan permukaan laut terjadi karena dua faktor utama akibat perubahan iklim:

  1. Mencairnya es di kutub dan gletser

  2. Pemuaian air laut akibat suhu yang meningkat

Menurut data dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), permukaan laut telah naik sekitar 20 cm sejak tahun 1900, dan diprediksi akan naik lebih dari 1 meter pada akhir abad ini jika tidak ada tindakan global yang drastis.

Untuk daerah-daerah pesisir rendah, bahkan kenaikan beberapa sentimeter saja sudah cukup untuk mengubah nasib ribuan orang.

Desa-Desa yang Telah Hilang di Dunia

1. Shishmaref, Alaska, Amerika Serikat

Desa ini dihuni oleh masyarakat Inupiat Eskimo dan telah berdiri selama lebih dari 400 tahun. Namun, akibat mencairnya es laut dan abrasi ekstrem, desa ini terus terkikis dan kehilangan daratan setiap tahun. Pada tahun 2016, warganya memilih untuk merelokasi seluruh desa.

2. Isle de Jean Charles, Louisiana

Rumah bagi komunitas suku Indian Biloxi-Chitimacha-Choctaw. Lebih dari 98% daratan pulau ini hilang sejak tahun 1950. Penduduk yang tersisa dipindahkan oleh pemerintah melalui program relokasi pertama akibat perubahan iklim di AS.

3. Desa Tebunginako, Kiribati

Negara kepulauan Kiribati di Samudra Pasifik adalah salah satu yang paling rentan terhadap kenaikan air laut. Desa Tebunginako telah sepenuhnya tenggelam dan para penduduknya terpaksa pindah ke pulau lain.

4. Desa-desa Pesisir di Indonesia

Indonesia bukan pengecualian. Di Demak, Jawa Tengah, desa-desa seperti Bedono dan Timbulsloko kini hanya bisa diakses dengan perahu karena tergenang permanen oleh air laut. Aktivitas pertanian dan sosial lumpuh, dan banyak penduduk telah mengungsi.

Mengapa Ini Bisa Terjadi?

Kenaikan air laut bukan datang tiba-tiba. Berikut ini beberapa faktor yang mempercepatnya:

Perubahan Iklim Global

Emisi gas rumah kaca dari industri, kendaraan, dan deforestasi memicu pemanasan global. Suhu bumi naik, es mencair, air laut mengembang.

Eksploitasi Air Tanah

Penurunan permukaan tanah (land subsidence) akibat eksploitasi air tanah juga memperparah kondisi. Di Jakarta dan Semarang, tanah turun hingga 10 cm per tahun.

Abrasi dan Penggundulan Hutan Mangrove

Pohon mangrove berfungsi menahan abrasi laut. Ketika pohon ini ditebang demi pembangunan atau tambak, perlindungan alami terhadap daratan pun hilang.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Kehilangan daratan tidak hanya soal geografi. Ini adalah krisis kemanusiaan.

  • Pengungsian Iklim: Munculnya kategori baru pengungsi — mereka yang meninggalkan rumahnya karena kondisi alam yang tidak lagi bisa ditinggali. Mereka kehilangan identitas, tanah kelahiran, bahkan status kewarganegaraan dalam kasus negara kecil seperti Tuvalu atau Kiribati.

  • Kehilangan Mata Pencaharian: Nelayan kehilangan dermaga dan wilayah tangkap. Petani kehilangan lahan garapan karena intrusi air laut.

  • Krisis Infrastruktur: Sekolah, masjid, jalan, dan rumah tergenang permanen. Pemerintah harus memutuskan: relokasi atau bertahan?

Masa Depan: Haruskah Kita Menyerah atau Bertindak?

Kita bisa menyaksikan bencana ini seperti penonton film dokumenter, atau memilih untuk bertindak. Banyak negara telah melakukan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi:

1. Polder dan Tanggul

Belanda adalah contoh sukses pembangunan sistem polder untuk melindungi wilayah di bawah permukaan laut. Indonesia mulai meniru sistem ini di Jakarta melalui proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development).

2. Reklamasi atau Relokasi?

Beberapa wilayah memilih mereklamasi lahan yang tenggelam. Namun, ini tidak selalu efektif dan sering berdampak ekologis besar. Relokasi dianggap lebih realistis, meskipun sulit secara sosial dan psikologis.

3. Rehabilitasi Ekosistem Pesisir

Menanam kembali mangrove dan membatasi pembangunan pesisir bisa mengurangi abrasi dan memperlambat efek kenaikan air laut.

4. Transisi Energi Bersih

Langkah jangka panjang adalah menurunkan emisi global. Penggunaan energi terbarukan, kendaraan listrik, dan efisiensi energi perlu didorong secara global.

Kisah-Kisah Manusia di Balik Statistik

Di balik angka dan grafik, ada kisah nyata. Seorang ibu di Bedono yang harus memandikan anaknya dengan air asin karena sumur mereka tergenang laut. Seorang kakek di Kiribati yang tidak ingin pindah meski rumahnya tinggal separuh. Mereka bukan sekadar korban, tapi juga saksi sejarah dari apa yang terjadi ketika laut mengambil alih daratan.

Kesimpulan: Daratan yang Hilang, Harapan yang Harus Diperjuangkan

Kenaikan permukaan laut bukan lagi ancaman masa depan — ia telah hadir, menyentuh hidup jutaan orang. Desa-desa yang hilang adalah peringatan bahwa waktu kita terbatas. Tindakan kolektif, dari kebijakan global hingga kesadaran lokal, menjadi kunci agar generasi mendatang tidak hanya membaca kisah tentang desa yang hilang, tetapi juga tentang manusia yang melawan dan bertahan.

Baca juga https://angginews.com/

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *