Raden Ajeng Kartini sering kali dikenang dalam bingkai yang sempit sebagai pejuang emansipasi perempuan. Setiap tanggal 21 April, namanya kembali dikaitkan dengan simbol perempuan yang menolak ketertindasan dan menginginkan pendidikan yang setara. Namun, pandangan ini terlalu menyederhanakan sosok Kartini. Lebih dari sekadar pejuang hak perempuan, Kartini adalah tokoh politik kultural yang menggugat sistem sosial kolonial dengan cara yang sangat halus namun mendalam.
Pemikiran-pemikiran Kartini, yang terdokumentasi dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, menunjukkan kedalaman intelektual dan kesadaran akan realitas struktural yang mengekang bangsa dan kaumnya. Ia bukan hanya berbicara tentang pendidikan perempuan, melainkan tentang kemanusiaan, struktur sosial yang tidak adil, dan kebutuhan untuk membangun kebudayaan bangsa yang merdeka dari penjajahan fisik maupun mental.
Membaca Ulang Kartini: Dari Emansipasi ke Perlawanan Kultural
Selama ini, Kartini sering ditempatkan dalam narasi kolonial yang memuji emansipasi dalam batas yang bisa diterima oleh penguasa. Namun, jika dibaca lebih dalam, surat-surat Kartini sebenarnya mengandung semangat resistensi. Ia menggugat feodalisme Jawa yang membungkam perempuan, sekaligus sistem pendidikan kolonial yang hanya memberi ruang terbatas bagi kaum pribumi.
Kartini menyadari bahwa kolonialisme tidak hanya menindas lewat kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga lewat budaya. Dalam konteks ini, Kartini memainkan peran sebagai agen perubahan kultural yang menyuarakan pentingnya kesadaran intelektual dan kebudayaan sendiri sebagai jalan menuju pembebasan.
Pendidikan sebagai Strategi Kultural
Pendidikan bagi Kartini bukan sekadar alat untuk membuat perempuan bisa membaca dan menulis. Lebih jauh dari itu, ia melihat pendidikan sebagai kunci pembebasan dari ketidaktahuan dan penghambaan terhadap sistem sosial yang timpang. Dalam salah satu suratnya, Kartini menulis bahwa ia ingin perempuan Indonesia menjadi manusia yang berdiri sejajar dengan laki-laki karena memiliki pengetahuan, keberanian berpikir, dan kemampuan menentukan nasib sendiri.
Dalam konteks kolonial, pendidikan adalah arena politik yang strategis. Kartini ingin mengubah struktur kekuasaan melalui perubahan mental dan kultural. Ia bermimpi membangun sekolah, bukan hanya untuk memberikan keterampilan, tetapi untuk menciptakan generasi perempuan yang sadar akan posisinya dalam masyarakat dan mampu mengubahnya.
Kritik Terhadap Struktur Sosial dan Kolonialisme
Kartini tidak hanya kritis terhadap budaya patriarkal Jawa, tetapi juga terhadap sistem kolonial Belanda. Meskipun ia menulis kepada sahabat-sahabat Belanda yang berasal dari kalangan liberal, ia tidak ragu menyampaikan kritik atas perlakuan pemerintah kolonial terhadap rakyat pribumi. Ia menyuarakan kegelisahan terhadap ketimpangan dan kemiskinan yang dialami kaumnya akibat penjajahan.
Ini menunjukkan bahwa Kartini memiliki kesadaran kelas dan kesadaran kebangsaan yang tajam. Ia melihat bahwa perbaikan nasib perempuan tidak bisa dilepaskan dari perubahan struktur sosial dan politik yang lebih luas.
Politik Kultural: Jalan Sunyi Perlawanan
Kartini bukan pejuang bersenjata, bukan orator publik, dan tidak hidup lama untuk melihat buah dari perjuangannya. Namun, ia memilih jalan politik kultural, yakni memengaruhi masyarakat melalui ide, nilai, dan wacana. Ia menggunakan bahasa dan tulisan sebagai senjata untuk menanamkan kesadaran baru tentang perempuan, kebangsaan, dan kemerdekaan berpikir.
Melalui surat-suratnya, Kartini menciptakan ruang diskusi transnasional antara Hindia Belanda dan Eropa. Ia membawa suara kaum pribumi ke forum global, sekaligus menantang persepsi dunia Barat terhadap Timur yang dianggap pasif dan tidak rasional. Ia adalah pelopor diplomasi kultural dalam makna yang paling awal dan autentik.
Relevansi Kartini Hari Ini
Lebih dari satu abad telah berlalu sejak Kartini menulis surat-suratnya, namun banyak pemikirannya masih sangat relevan. Di tengah tantangan globalisasi, komersialisasi pendidikan, dan ketimpangan sosial yang masih terasa, semangat Kartini untuk membangun masyarakat yang adil melalui transformasi budaya tetap menjadi inspirasi.
Kita hidup di era ketika perempuan masih harus berjuang untuk mendapatkan haknya, ketika budaya patriarki masih hidup dalam berbagai bentuk, dan ketika kesenjangan pendidikan masih menjadi persoalan. Dalam konteks ini, mewarisi semangat Kartini berarti melanjutkan perjuangan untuk membebaskan pikiran, membangun budaya literasi, dan memperjuangkan keadilan sosial lewat cara-cara yang berakar dari nilai dan tradisi sendiri.
Kesimpulan
Kartini bukan sekadar simbol emansipasi. Ia adalah tokoh politik kultural yang memahami bahwa pembebasan perempuan dan bangsa tidak bisa dicapai hanya melalui perubahan hukum atau institusi, tetapi melalui perubahan cara berpikir, budaya, dan kesadaran. Ia memilih jalan sunyi melalui tulisan, namun gaungnya masih terdengar hingga kini.
Dengan memahami Kartini dalam kerangka politik kultural, kita diberi perspektif baru tentang bagaimana perubahan sosial dapat dimulai dari pembentukan makna, narasi, dan kesadaran. Dalam dunia yang semakin kompleks, warisan pemikiran Kartini menjadi lebih dari sekadar sejarah, melainkan panduan moral dan intelektual bagi generasi mendatang.
Baca juga https://angginews.com/