Kabupaten Blora, Jawa Tengah, memiliki identitas kuat yang telah melekat selama ratusan tahun: hutan jati. Di balik keelokan pohon-pohon jati yang menjulang tegak dan simetris, tersimpan kisah panjang tentang konflik, penguasaan lahan, dan ketimpangan relasi antara negara, perusahaan, dan petani kecil.
Blora bukan hanya wilayah geografis. Ia adalah narasi kompleks tentang manusia dan alam, tentang hutan dan kayu, tentang hidup dan bertahan di tengah sistem yang tak selalu adil. Salah satu kisah paling pelik adalah tentang perambahan hutan jati yang berlangsung secara terorganisir, dan bagaimana petani kecil kerap kali terjerat di dalamnya—bukan sebagai pelaku utama, tapi sebagai korban keadaan.
Hutan Jati: Warisan, Komoditas, dan Kontestasi
Jati (Tectona grandis) bukan pohon biasa. Ia tumbuh lambat, keras, dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Kayu jati Blora terkenal sejak era kolonial Belanda, saat pengelolaan hutan mulai diatur secara sistematis lewat pembentukan Boschwezen, cikal bakal Perhutani masa kini.
Selama berabad-abad, masyarakat lokal tinggal berdampingan dengan hutan. Namun sejak pengelolaan disentralisasi ke tangan negara, akses terhadap lahan hutan menjadi terbatas. Tanah yang dulunya dikelola secara komunal berubah status menjadi milik negara, dan masyarakat desa berubah peran dari pengelola menjadi “penjaga hutan”—tanpa akses penuh terhadap hasilnya.
Ketimpangan Relasi: Negara, Perhutani, dan Petani
Perusahaan Umum Perhutani, sebagai badan usaha milik negara, memegang kendali atas pengelolaan hutan jati di wilayah Blora. Dalam praktiknya, masyarakat sekitar hutan hanya dilibatkan secara terbatas, seperti dalam program kemitraan atau tumpangsari (bercocok tanam di sela pohon jati muda).
Namun dalam realitas sehari-hari, kemitraan ini tak selalu berpihak. Petani hanya boleh menanam tanaman tertentu, dengan jangka waktu terbatas. Mereka tidak memiliki hak atas kayu jati yang tumbuh di atas lahan yang mereka rawat selama puluhan tahun.
Kondisi ini menciptakan jurang kesenjangan antara pihak pengelola dan masyarakat desa. Saat akses legal tertutup, sebagian masyarakat terpaksa mencari celah lain untuk bertahan hidup—dan di sinilah praktik perambahan muncul.
Perambahan Terorganisir: Lebih dari Sekadar Pencurian
Perambahan hutan sering dipahami sebagai tindakan ilegal individu: mencuri kayu di malam hari, membabat lahan tanpa izin. Namun, di Blora, praktik ini sering kali dilakukan secara terorganisir, dengan jaringan distribusi, alat berat, dan bahkan keterlibatan oknum aparat atau pihak berpengaruh.
Kayu jati yang ditebang secara ilegal bisa masuk ke pasar dengan dokumen palsu atau “dicuci” melalui jalur legal. Di baliknya, ada struktur ekonomi bawah tanah yang sangat menguntungkan bagi segelintir pihak.
Yang menyedihkan, petani kecil sering kali hanya menjadi pelaksana di lapangan—orang yang diminta menebang, memikul, atau mengangkut kayu—dengan imbalan yang tak seberapa. Namun saat penegakan hukum dilakukan, mereka pula yang paling mudah ditangkap dan dihukum.
Siklus Ketergantungan dan Ketidakberdayaan
Mengapa petani terjebak dalam praktik ini?
-
Kebutuhan ekonomi harian: Harga hasil pertanian tumpangsari sering tidak mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga. Hasil panen tidak stabil karena iklim dan tanah yang minim nutrisi.
-
Tidak punya akses lahan alternatif: Banyak petani tidak memiliki lahan sendiri, dan hanya bergantung pada sistem kemitraan dengan Perhutani.
-
Kurangnya perlindungan hukum: Ketika ada sengketa, posisi petani lemah karena tidak memiliki dokumen hak atas tanah.
-
Ketakutan dan tekanan sosial: Beberapa di antaranya mendapat tekanan dari kelompok-kelompok tertentu yang mengatur aliran kayu ilegal.
Dalam situasi seperti ini, petani bukan pelaku kriminal murni, tapi bagian dari sistem yang gagal menyediakan solusi adil dan berkelanjutan.
Dampak Lingkungan: Hutan Gundul dan Krisis Air
Perambahan yang terus berlangsung meninggalkan bekas nyata: hutan jati yang makin menipis, terutama di wilayah perbatasan Blora dengan Rembang dan Ngawi. Hutan yang sebelumnya hijau dan padat kini berubah menjadi lahan kosong atau semak belukar.
Efek ekologisnya sangat terasa:
-
Kekeringan di musim kemarau, karena berkurangnya daya serap air.
-
Erosi dan tanah longsor di musim hujan.
-
Hilangnya habitat satwa liar yang sebelumnya menjadi bagian ekosistem.
Blora, yang dulu dikenal sebagai kawasan hijau, kini mulai terancam menjadi wilayah rawan bencana ekologis jika pengelolaan hutan tidak segera dibenahi.
Upaya dan Harapan: Apakah Ada Jalan Tengah?
Beberapa langkah telah dicoba untuk mengatasi persoalan ini:
-
Program Perhutanan Sosial dari pemerintah pusat, yang membuka peluang bagi masyarakat untuk mengelola hutan negara secara legal.
-
Kemitraan Hutan Rakyat, di mana petani bisa mendapatkan bagian dari hasil panen kayu secara sah.
-
Reboisasi partisipatif, yang melibatkan masyarakat dalam penanaman ulang pohon jati dan tanaman lainnya.
Namun tantangannya masih besar. Banyak petani belum teredukasi tentang hak-hak mereka. Birokrasi rumit dan tidak meratanya informasi membuat program-program baik ini belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Diperlukan pendampingan hukum, pendidikan ekologis, dan penguatan posisi tawar petani agar mereka tidak lagi hanya menjadi pelaksana di lapangan, tapi benar-benar menjadi bagian dari pengelola hutan.
Penutup: Menjaga Hutan, Menjaga Keadilan
Hutan jati Blora bukan hanya tumpukan pohon. Ia adalah napas dari ribuan keluarga petani, sumber air bagi sawah-sawah, dan penyimpan karbon untuk masa depan bumi. Tapi selama pengelolaan hutan tidak menghadirkan keadilan, maka konflik akan terus berulang dalam berbagai bentuk.
Perambahan tidak akan berhenti hanya dengan tindakan represif. Ia harus diatasi dengan pendekatan sistemik: membuka akses legal bagi petani, menciptakan sistem bagi hasil yang adil, dan menindak tegas aktor besar di balik perambahan terorganisir.
Petani Blora tidak ingin jadi pencuri. Mereka hanya ingin hidup layak di atas tanah yang selama ini mereka jaga. Saatnya sistem berpihak pada mereka, bukan hanya pada kayu yang tumbuh.
Baca juga https://angginews.com/


















